Samarinda – Memperingati International Day for Universal Access to Information atau yang dikenal sebagai Right to Know Day pada setiap tanggal 28 September, masyarakat sipil yang terdiri dari: Kelompok Kerja 30 (Pokja 30), Fraksi Rakyat Kutai Timur (FRK), akademisi, wakil organisasi masyarakat sipil (OMS) Extractive Industry Transparency Initiative (EITI) Indonesia mengadakan diskusi bertajuk “Transparansi “Semu” Sektor Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia” di bilangan Samarinda. Peserta kegiatan diskusi ini adalah teman-teman media lokal Kalimantan Timur.
Untuk tahun ini, UNESCO mengangkat tema “Ensuring Access to Environmental Information in the Digital Age” pada peringatan Right to Know Day yang menaikan isu pemenuhan hak terhadap informasi lingkungan di tengah gempuran arus digitalisasi. Diskusi ini membahas pengalaman masyarakat sipil di Kalimantan Timur dalam membuka informasi publik di sektor industri batubara.
Bersamaan momentum Right to Know Day, diskusi ini secara lebih khusus mengangkat kasus sengketa informasi terbaru antara dua aktivis lingkungan yang tergabung dalam FRK terkait Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), dan Rencana Induk Program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) yang dimiliki PT. Kaltim Prima Coal (KPC), salah satu produsen batubara terbesar di Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur.
Salah satu penyebab sengketa adalah pengecualian informasi yang dibuka untuk publik oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), sengketa informasi kemudian dibawa ke Komisi Informasi Pusat (KIP) sejak Desember 2022 sedangkan mediasinya baru dimenangkan tiga tahun setelahnya pada 29 April 2025 untuk dokumen yang dimintakan dapat dibuka untuk publik.
Meskipun dibuka, kasus sengketa ini memberikan pembelajaran penting dalam perjuangan transparansi dan pemenuhan hak-hak asasi manusia (HAM) masyarakat terdampak tambang.
Pertama, Buyung Marajo, Pokja 30 menyoroti hal proses pembukaan informasi tersebut tidak dapat dikatakan sebagai bentuk transparansi karena tidak sesuai ketentuan UU KIP yang mengatur batas penyelesaian sengketa informasi maksimal 100 hari.
Dari sudut pandang pemenuhan hak asasi, hal ini tentu sangat merugikan masyarakat lingkar tambang yang selama tiga tahun dirampas hak-haknya untuk mengetahui tata kelola batubara di lingkungannya sedangkan pengerukan itu terus berlangsung dalam transparansi yang gelap.
Kedua, alih-alih keterbukaan informasi, FRK menyampaikan bagaimana dokumen RKAB dan PPM KPC yang telah dibuka ke publik justru menutup sejumlah informasi penting yang dikecualikan sehingga informasi yang diharapkan masyarakat tidak terpenuhi. Bukannya informasi, tetapi masyarakat hanya mendapatkan berkas dokumen yang tidak bermanfaat bagi mereka.
Ketiga, pemberian akses dokumen yang diberikan secara hardcopy dan dikirim dari Jakarta menuju Kutai Timur memberikan biaya beban masyarakat di sana dan tidak mencerminkan asas dalam Pasal 2 ayat 3 UU KIP yang menyatakan bahwa “Setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon Informasi Publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana”.
Keempat, para pembicara juga menyoroti bagaimana dari keterlibatan dua aktivis FRK dalam uji akses informasi yang dilakukan tersebut untuk dokumen AMDAL yang belum dibuka dan justru Kementerian ESDM melakukan banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur, menggambarkan bagaimana negara belum sepenuhnya hadir dalam memastikan mandat keterbukaan informasi publik bagi masyarakat, khususnya lingkar tambang.
Dari kasus tersebut terdapat kesenjangan kualitatif antara regulasi dan implementasi 17 UU KIP yang seharusnya mampu menjamin hak memperoleh informasi publik yang juga merupakan bagian dari HAM. Yusnita Ike Christanti, Wakil OMS EITI Indonesia memaparkan potret transparansi industri ekstraktif melalui standar EITI Indonesia yang menunjukkan hasil validasi terbaru pada tahun 2023 di angka 67 yang termasuk dalam kategori cukup rendah (fairly low).
Dari hasil validasi, dijelaskan kepada peserta yang hadir bahwa terdapat empat komponen dalam Standar EITI yang berkontribusi pada rendahnya skor transparansi Indonesia, yaitu: terkait keterlibatan publik, kontrak, dampak lingkungan, dan data disagregasi yang mengkonfirmasi kasus sengketa yang sedang dihadapi FRK.
Semunya transparansi di sini juga berkaitan dengan bagaimana implementasi UU KIP tersebut dari peran Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Kementerian/Lembaga K/L terkait yang dalam kasus keterbukaan informasi AMDAL menjadi terhambat karena saling melemparkan tanggung jawab dalam penguasaan data yang menjadi kuasanya.
Warkhatun Najidah, Akademisi Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman memberikan catatan bagaimana hal tersebut selain menjadi celah lambatnya transparansi, juga karena dalam regulasi UU KIP belum secara detail bisa memberikan jawaban terkait peran dan pengawasan yang memadai untuk memastikan keterbukaan data-data tersebut dapat terlaksana sesuai mandatnya.

