Kaltim memang kaya sumber daya alam. Wilayah ini memiliki hutan dengan kayu dan perizinan penggunaan kawasan hutan, minyak dan gas, serta tambang batu bara yang menyumbang 70 persen produksi nasional. Kekayaan alam yang seharusnya mampu menyejahterakan rakyat Kaltim yang berjumlah sekitar 3,5 juta orang. Namun, faktanya masih terdapat rakyat yang hidup dalam kemiskinan.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bibit Samad Rianto beberapa waktu lalu melansir tingginya laporan masyarakat atas dugaan penyimpangan atau korupsi di provinsi terluas ini. Hingga awal tahun 2010, KPK menerima 1.254 laporan dari total pengaduan masyarakat yang mencapai 40.000 laporan. Kota Samarinda dan Kabupaten Kutai Kartanegara menempati posisi tertinggi, yaitu 264 laporan dan 203 laporan, dilanjutkan Kabupaten Berau (106 laporan), Bontang (100 laporan), dan Pasir (95 laporan).
Laporan itu memang tak serta-merta menunjukkan Kaltim adalah provinsi terkorup. Fenomena itu juga dapat dibaca secara positif, yaitu makin baiknya kesadaran publik untuk terlibat secara aktif dalam upaya pemberantasan korupsi.
”Atau memang bisa jadi Kaltim ini terkorup di antara provinsi lain di Indonesia,” ujar Carolus Tuah, Direktur Kelompok Kerja (Pokja) 30, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang pemberantasan korupsi yang berbasis di Samarinda.
Faktanya, memang tak sedikit pejabat, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, terseret kasus korupsi. Sebut saja Suwarna AF (mantan Gubernur Kaltim) dan Syaukani Hasan Rais (mantan Bupati Kutai Kartanegara) yang sempat diadili di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi. Sejumlah pejabat juga diadili di pengadilan negeri setempat. Tak hanya pejabat pemerintahan, rektor pun turut terseret, seperti yang dialami Rektor Universitas Kutai Kartanegara Muhammad Aswin. Ia terjerat kasus bantuan sosial ketika menjabat Sekretaris Daerah Kutai Kartanegara.
Yang terbaru, dugaan korupsi juga ditudingkan kepada Gubernur Kaltim Awang Faroek dalam perkara divestasi saham PT Kutai Timur Energy. Kasus lama yang melibatkan dana senilai Rp 576 miliar sewaktu dia menjabat Bupati Kutai Timur.
Awang Faroek mengungkapkan, tidak ada kesalahan prosedur dalam kasus itu. Setidaknya hal ini tidak pernah dijadikan temuan Badan Pemeriksa Keuangan.
Dana bantuan sosial
Carolus Tuah mengungkapkan, korupsi di Kaltim melibatkan birokrasi dan politisi, pemerintah dan anggota DPRD. Modus operandi yang digunakan sebenarnya terbilang konvensional, seperti penyalahgunaan APBD dalam pengadaan barang dan jasa serta penyaluran bantuan sosial.
Berdasarkan pantauan Pokja 30, dana bantuan sosial menjadi pilihan empuk mengingat adanya ketidakjelasan pengaturan alokasi dana tersebut.
Tuah menuturkan, aturan yang dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri tidak membatasi berapa dana maksimal yang dapat dialokasikan. Peraturan Mendagri itu hanya menyebutkan alokasi bantuan sosial disesuaikan dengan keuangan daerah masing-masing.
Di Kaltim, berdasarkan data Pokja 30, alokasi dana bantuan sosial mencapai Rp 2 triliun per tahun (anggaran pemerintah provinsi dan 14 kabupaten/kota). Untuk APBD Provinsi Kaltim, Pokja mensinyalir Rp 600 miliar hingga Rp 700 miliar teralokasi untuk kepentingan itu.
Wilayah ini terkadang tak disadari orang. Dengan regulasi yang lemah dan relatif tak terkontrol, bagi-bagi dana bantuan sosial relatif mulus. Tuah menunjukkan lemahnya regulasi, seperti tidak diwajibkannya penerima dana bantuan sosial membuat laporan pertanggungjawaban jika nominal dana yang diterima kurang dari Rp 500 juta.
Selain masyarakat awam, penerima bantuan adalah organisasi kemasyarakatan yang diusut lebih jauh memiliki kaitan dengan politisi atau pejabat tinggi pemda setempat.
Potret birokrasi semacam ini sudah disadari oleh Pemerintah Provinsi Kaltim. Dalam Rencana Strategis 2010, mereka menempatkan tiga isu utama target capaian, yaitu ketatalaksanaan dan aparatur negara, pelayanan publik dan partisipasi masyarakat, serta kasus korupsi. Khusus berkenaan dengan kasus korupsi, Pemerintah Provinsi Kaltim menargetkan menurunnya jumlah korupsi itu hingga 80 persen.
Awang pun mengungkapkan, praktik tata kelola pemerintahan yang baik menjadi prioritas. Salah satunya dengan pengelolaan keputusan manajemen publik yang transparan dan akuntabel.
Soal transparansi dan akuntabilitas diakui sejumlah LSM masih bermasalah. Sulit mengakses data meskipun sebenarnya itu bukan data rahasia. Saat ini komitmen Kaltim diuji. Cita-cita mengikis korupsi diharapkan tak berhenti di atas kertas. (Susana Rita dan Ambrosius Harto)
— (Sumber KOMPAS – 22 September 2010 – Politik & Hukum) —
Sumber: KPPOD.ORG