SAMARINDA –Menurut kebijakan penggiat publik itu, tubuh APBD dari tahun ke tahun justru banyak terkuras untuk kebutuhan pemerintahan, bukan program nyata yang berdampak langsung ke masyarakat.

“Lebih dari 50 persen APBD itu pasti habis di urusan urusan, seperti gaji, tunjangan pegawai, hingga kesekretariatan,” ungkap Koordinator FH Pokja 30 Buyung Marajo, (30/12).

Belanja dalam APBD terbagi dua, yakni belanja langsung yang berkaitan dengan program kerja dan pembangunan atau belanja tidak langsung yang berkaitan dengan hal tersebut.

Lebih detail, ada empat jenis belanja, jika dilihat peruntukannya dalam belanja tidak langsung. Pertama, belanja koordinasi yang meliputi perjalanan dinas atau rapat yang bersifat akomodatif. Lalu, belanja pegawai yang ditujukan untuk mendukung keperluan dan kepentingan ASN dalam pemerintahan.

Lalu, peningkatan peningkatan kapasitas yang ditujukan untuk peningkatan kapasitas aparatur atau masyarakat. “Di sini memang terselip bantuan sosial dan hibah yang ditujukan untuk peningkatan kapasitas masyarakat. Namun, kecil, lebih didominasi untuk kebutuhan ASN,” katanya. Terakhir, belanja sektoral yang berdampak pada perbaikan manfaat dan penanganan isu-isu sektoral, seperti kehutanan atau masyarakat adat.

Menukil APBD Samarinda 2018–2020, khususnya APBD murni yang diketok sebelum tahun berjalan, kebutuhan belanja pegawai justru terus menanjak saban tahun.

Bahkan dari tiga tahun itu, pada 2019 saja yang klop antara pengeluaran dan pendapatan. Pada 2018 dan 2020 justru terdapat defisit. “Itu masih secara realisasi di APBD murni, bukan atau perubahan,” sambungnya.

Pemerintah, ucap dia, perlu jeli dalam meneropong kemampuan fiskal daerah agar penggunaannya lebih tepat sasaran. Kelebihannya, belanja pegawai terselip di belanja langsung atau tidak langsung. “Di belanja tidak langsung memang membahas empat jenis tadi. Namun, belanja langsung, ada juga belanja pegawai seperti pengadaan bangunan sekretariat,” katanya.

Besarnya belanja tidak langsung itu menyiratkan jika pemkot kelebihan pegawai, makanya kebutuhan dananya terus membengkak. Buyung menganalogikan, di partikelir, satu pegawai bisa mengerjakan tiga kerjaan. Namun, di pemerintahan satu kerjaan justru bisa dikeroyok banyak ASN. Di antaranya, panitia lelang, pejabat pembuat komitmen, pejabat pengawas teknis kegiatan, atau pengguna anggaran.

Memang secara regulasi, keberadaan pos-pos pekerjaan itu diatur. Namun, justru jadi celah untuk ASN mendapatkan pendapatan lain dari APBD di luar yang sudah dianggarkan di belanja tidak langsung. “Hukum tapi mubazir. Sah memang, tapi etika pemerintahan apa seperti itu. Pada akhirnya apa yang dibutuhkan warga tak sepenuhnya terakomodasi karena kebutuhan di internal pemerintah lebih gemuk,” tutupnya.

Sumber: prokal.co