PP 22/2021, turunan dari UU Cipta Kerja menghapus limbah FABA dan kelapa sawit dari daftar limbah berbahaya dan beracun (B3).
Seorang mahasiswa duduk bersila tatkala sepasang pria berbaju hazmat menabur bongkahan batu bara dan lumpur coklat di beban. Di sampingnya, dua pria berpakaian necis tampak menertawakan sambil bersalaman. Adegan teatrikal tersebut merupakan bagian dari protes yang dikeluarkannya abu batu bara dan limbah cair kelapa sawit dari daftar limbah berbahaya dan beracun (B3).
Rabu, 17 Maret 2021, tujuh organisasi gabungan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan Organisasi Mahasiswa Bumi Etam, menggeruduk Kantor Gubernur Kaltim di Jalan Gajah Mada. Memprotes pengesahan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Jumat, 12 Maret 2021, oleh Presiden Joko Widodo. Beleid tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang 11/2020 tentang Cipta Kerja atau akrab disapa Omnibus Law.
Secara rinci, limbah cair berupa fly ash dan bottom ash (FABA) yang merupakan hasil pembakaran batu dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), serta limbah sawit berjenis menghabiskan bleaching earth (SBE) dihapus dari kategori Limbah B3. Dijelaskan dalam Pasal 459 huruf C PP 22/2021. Dalam lampiran XIV PP 22/2021, limbah penyulingan sawit itu dicantumkan dalam daftar limbah non-B3 dan diberi kode N108.
Koordinator Pokja 30 selaku narahubung aksi, Buyung Marajo, mengatakan bahwa pelanggaran kedua dari daftar B3, akan berdampak langsung terhadap buruknya pengelolaan limbah pascatambang dan sawit terhadap masyarakat Kaltim. Hal tersebut tak lepas dari keberadaan provinsi ini sebagai salah satu daerah industri ekstraktif terbesar di Indonesia.
“Kaltim sangat merasakan dampak kebijakan ini. Apalagi bukan rahasia bahwa selama ini yang menghidupi dan di pulau Jawa sudah sumber daya alam dari Kaltim,” beber Buyung, ditemui di sela-sela demo.
Pencemaran Industri Ekstraktif Kaltim
Pendataan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, sepanjang 2021 terdata tujuh kasus limbah FABA di empat kabupaten/kota provinsi ini. Meliputi limbah FABA dari PLTU yang tersebar di Bontang, Balikpapan, Kutai Timur, dan Kutai Kartanegara.
Sedangkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kaltim, menerima laporan tiga kasus limbah. Terdiri dari limbah FABA di Kukar dan dua kasus limbah kelapa sawit di Kutai Timur.
“Daerah pinggiran di Kaltim akan sangat ramai. Apalagi industri di daerah pinggiran yang pengelolaannya tidak terlaksana,” sebut Direktur Eksekutif Walhi Kaltim, Yohana Tiko, Rabu, 17 Maret 2021.
Tiko menilai penegakan aturan lingkungan yang sebelumnya sudah ada, Undang-Undang 32/2009 tentang Perlindungan dan Lingkungan Hidup (PPLH), selama ini belum dilaksanakan dengan baik. Dengan disahkannya Omnibus Law, Tiko memprediksi dampak ekologis bakal semakin masif di Kaltim.
“Kalau di PPLH kan ketika perusahaan tidak mengelola limbahnya maka akan pengenaan sanksi pidana dan denda administratif. Ketika PP ini dikeluarkan, itu semua akan hilang,” ucapnya.
Tiko pun menilai argumen atau pembenaran pencabutan FABA dan SBE dari daftar limbah B3 agar bisa diolah menjadi pembuat batu bata, semen, dan corn block, tidak valid. Sebab, hingga saat ini, belum ada contoh empiris bahwa pengelolaan limbah tersebut sudah dilaksanakan di Kaltim.
“Praktiknya sama sekali belum ada. Praktik-praktik baik dan benar pembuangan limbah pertambangan dan perkebunan itu belum ada,” tulisnya.
Media ini mencoba menghubungi Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim, Christianus Benny, terkait demonstrasi dan sikap Pemprov Kaltim terhadap maraknya kebijakan pencabutan dan pembiaran limbah B3 di Kaltim. Namun dari tiga kali upaya konfirmasi melalui telepon dan pesan singkat, belum ada tanggapan hingga berita ini diturunkan.
Sebelumnya kaltimkece.id juga mendatangi Kantor Dinas ESDM Kaltim di Jalan MT Haryono. Namun, staf di tempat mengatakan jika Christianus Benny simpan bagian tengah kota dan berkantor baru Senin mendatang, 22 Maret 2021.
Sumber: Kaltim Kece