Profil Kelompok Kerja 30
Lembaga Pokja 30 berdiri pada 30 Desember 1999 dengan menyepakati bentuk organisasinya sebagai forum himpunan. Sruktur awal pendirian Pokja 30 terdiri atas dua organ lembaga yaitu badan pendiri dan badan pengurus. Sejarah pendiriannya diawali oleh 30 aktivis mahasiswa yang sudah sering berinteraksi dalam berbagai forum diskusi, kemudian berkumpul merespon tindak lanjut dari reformasi. Pemilihan nama Pokja 30 dinyatakan tidak berasal dari alasan ideologis apapun, namun hanya terlontar begitu saja dari salah seorang aktivis yang hadir dalam pertemuan dan langsung direspon oleh aktivis lainnya. Pertemuan tersebut berlangsung di sebuah rumah di Jalan Danau Maninjau. No. 12. RT. 14. Kota Samarinda yang hingga sekarang menjadi kantor Pokja 30.
Meskipun dalam pendirian Pokja 30 diinisiasi oleh sekitar 30 aktivis mahasiswa, namun selanjutnya hanya 7 orang yang mempunyai komitmen lebih lanjut dan berkomitmen untuk membentuk Lembaga Pokja 30. Pada awal pendiriannya, Pokja 30 lebih fokus pada isu anti korupsi sebagai respon dari situasi eksternal seirama dengan tren gerakan pada masa tersebut. Selanjutnya dalam perguliran perjalanan lembaga, salah satu pendiri Poka 30 Senci Han mendorong agar Pokja 30 merespon isu pelayanan publik. Sejak didirikan pada 1999 hingga 2013 sudah terjadi empat kali pergantian tampuk kepemimpinan. Kepemimpinan pertama dipegang oleh Lukman yaitu tahun 1999 – 2001.
Kepemimpinan kedua di tahun 2001–2007 adalah Kahar, periode tahun 2007–2018 adalah Carolus Tuah dan 2018-sekarang di pimpin oleh Buyung Marajo. Seperti tercantum dalam Akta Pendirian Pasal 8, lembaga ini didesain bahwa anggota Badan Pengurus dipilih langsung oleh Badan Pendiri. Pasal ini diatur berdasarkan pengalaman dimana para pendiri Pokja 30 trauma melihat banyak lembaga ricuh atau pecah karena adanya konflik internal lembaga pada saat proses suksesi kepemimpinan. Pada tahun 2000-an, Pokja 30 memilih menjadi lembaga independen yang mandiri dan memposisikan diri untuk menolak kolaborasi dengan LSM lain karena pada waktu itu banyak LSM di Kalimantan Timur bergerak untuk isu lingkungan.
Susunan keanggotaan Badan Pengurus pada awal periode berdirinya Pokja 30 adalah Lukman sebagai Direktur Eksekutif, Senci Han sebagai Koordinator Program, Carolus Tuah sebagai Ketua Divisi Pelatihan dan Kaderisasi, Kahar, sebagai Ketua Divisi Pendidikan dan Pelatihan, Taufik Wahyudi sebagai Ketua Divisi Dokumentasi dan Informasi, Sukamto sebagai Asisten Divisi Dokumentasi dan Informasi, Arie Firnanda sebagai Ketua Divisi Penerbitan, Michael Steve Paath sebagai Asisten Divisi Penerbitan, Eka Nur Handayani sebagai Sekretaris, Dian Kurniati sebagai Wakil Sekretaris dan Danny Joseph sebagai Bendahara.
Kerja awal yang dilakukan oleh Pokja 30 adalah pengorganisasian kelompok PKL dan korban gusuran serta masyarakat yang berkonflik dengan perusahaan. Sejak awal pendiriannya tidak ada support pendanaan kerja organisasi yang berasal dari donor. Hal ini didorong oleh komitmen awal lembaga, yaitu dengan tidak mau tergantung pada donor. Selanjutnya, sekitar tahun 2001 atau saat peralihan periode kepemimpinan dari Lukman kepada Kahar, lembaga mulai bereksperimen untuk melibatkan donor. Pergeseran sikap ini sebenarnya lebih untuk menguji kemampuan lembaga untuk bekerjasama dengan lembaga donor. Selanjutnya, pada tahun 2004 Pokja 30 mulai fokus pada isu pemantauan politisi busuk yaitu dengan melakukan pendidikan politik ke masyarakat dengan program ‘kejar politisi busuk’. Hal ini menunjukkan bahwa isu Pemilu dan khususnya pendidikan politik masyarakat merupakan core mandat dari Pokja 30. Kemudian, pada tahun 2005 – 2007, POKJA 30 melakukan kerja sama dengan ICW untuk kegiatan pendampingan masyarakat dalam forum Musrenbang di 14 Kelurahan yang tersebar di 4 Kecamatan di Samarinda. Targetnya adalah untuk melatih agar masyarakat melek anggaran dan aspirasi masyarakat terserap sejak dalam tahap perencanaan pembangunan.
Momentum yang berhubungan dengan perubahan kebijakan kelembagaan Pokja 30 terjadi di tahun 2007 dimana mereka merefleksikan kerja-kerja yang dilakukan dan posisi apa yang sedang dimainkan Pokja 30. Refleksi ini menghasilkan dua hal utama: pertama, Pokja 30 tidak membuat atau mengajukan proposal program pada donor sampai waktu yang tidak ditentukan. Hal ini dilatarbelakangi oleh tidak luwesnya ‘advokasi berbayar’ dan kaku pada desain yang telah direncanakan. Selanjutnya lembaga terjebak dalam perdebatan-perdebatan dengan donor yang justru makin membebani lembaga dan menyita banyak waktu hanya untuk merasionalisasi situasi di atas. Kedua, Pokja 30 tidak langsung melakukan pemberdayaan di akar rumput tetapi lebih berbasis pada pengaduan dan bukan jemput bola.
Cita-cita Organisasi
Berdasarkan Pasal 5 Akta Forum Himpunan Pokja 30 No. C-223.HT.03.01-TH.1999, disebutkan bahwa POKJA 30 memiliki cita-cita:
- Gerakan Anti Korupsi
- Menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme;
- Menciptakan masyarakat yang tidak mentolerir tindak pidana korupsi;
- Terciptanya badan-badan pemeriksa dan pengawasan yang sudah ada;
- Membentuk badan independen yang anti korupsi;
- Reformasi Layanan Publik
- Membentuk pemerintahan yang bersih, efisien, efektif dan mampu memberikan pelayanan publik yang baik;
- Perbaikan Pengelolaan Sektor Usaha
- Diterapkannya prinsip-prinsip good governance dalam dunia industri dan perdagangan serta kalangan profesional;
- Reformasi Hukum dan Peradilan
- Terciptanya reformasi hukum secepatnya;
- Terciptanya reformasi di kejaksaan dan badan-badan peradilan lainnya;
- Otonomi daerah dan desentralisasi
- Adanya keterpaduan dan keefektifan program desentralisasi yang transparan, bertanggung jawab, acountable dan melibatkan partisipasi publik secara luas melalui mekanisme konsultasi publik ;
- Diterapkannya sistem administrasi yang baik dan efektif di masing-masing daerah
- Adanya pengawasan yang efektif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat terhadap pemerintah lokal setempat;
- Adanya hubungan yang baik antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat dengan komunitas lokal;
- Reformasi Pemilu
- Terciptanya manajemen pemilu yang baik dan efisien serta terpadu;
- Meningkatnya kredibilitas dari partai politik, calon anggota legislatif, pemantau dan pemilih dalam pemilu;
- Reformasi Parlemen
- Terciptanya parlemen yang efektif, representatif dan mewakili rakyat dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah;
- Penguatan Kapasitas Masyarakat Sipil
- Terciptanya masyarakat madani yang mandiri dan teratur serta berinteraksi baik dengan dengan sektor publik maupun sektor korporasi.
Dalam menjalankan program menuju cita-cita tersebut, POKJA 30 memegang nilai-nilai:
- Tidak menerima dan meminta uang dari sumber tidak jelas;
- Tidak melakukan entertainment untuk kepentingan lobby baik dengan lembaga pemerintahan dan donor atau pihak lain. Bagi kelompok dampingan juga sudah diberi tahu sejak awal sehingga dalam melakukan pendampingan tidak perlu membalas/membayar jasa;
- Akuntabilitas. Laporan keuangan dibuka kepada publik. Tradisi Pokja 30 yaitu merilis jumlah donasi yang diterima dan darimana saja sumbernya;
- Kesetaraan gender. Sudah diterapkan dalam keseharian di lembaga dengan baik seperti cuti haid, jika pulang malam perempuan dibiayai untuk naik taksi dan lain-lain, namun belum menjadi dokumen lembaga;
- Transparansi;
- Non diskriminatif;
- Keberpihakan pada kelompok marginal;
- Volunteerism (memegang teguh prinsip-prinsip kerelawanan);
- Non partisan – baik organisasi dan individu tidak berafiliasi dengan parpol.